Nama Jenis | : sapi Friesh Holland (FH) |
Kategori | : Sapi |
Komoditas | : Sapi Perah |
Secara umum, sapi perah merupakan penghasil susu yang sangat dominan
dibanding ternak perah lainnya. Salah satu bangsa sapi perah yang
terkenal adalah Sapi perah Fries Holland (FH). Sapi ini berasal dari
Eropa, yaitu Belanda (Nederland), tepatnya di Provinsi Holland Utara dan
Friesian Barat, sehingga sapi bangsa ini memiliki nama resmi Fries
Holland dan sering disebut Holstein atau Friesian saja (Foley, dkk.,
1973; Williamson dan Payne. 1993).
Sapi FH mempunyai karakteristik yang berbeda dengan jenis sapi lainnya yaitu :
* Bulunya berwarna hitam dengan bercak putih.
* Bulu ujung ekor berwarna putih.
* Bulu bagian bawah dari carpus (bagian kaki) berwarna putih atau hitam dari atas turun ke bawah.
* Mempunyai ambing yang kuat dan besar.
* Kepala panjang dan sempit dengan tanduk pendek dan menjurus ke depan.
* Pada jenis Brown Holstein, bulunya berwarna cokelat atau merah dengan
putih (Foley dkk., 1973; Ensminger, 1980; dan Makin dkk., 1980).
Sapi FH merupakan jenis sapi perah dengan kemampuan produksi susu
tertinggi dengan kadar lemak lebih rendah dibandingkan bangsa sapi perah
lainya. Produksi susu sapi perah FH di negara asalnya mencapai
6000-8000 kg//ekor/laktasi, di Inggris sekitar 35% dari total populasi
sapi perah dapat mencapai 8069 kg/ekor/laktasi (Arbel dkk., 2001).
Bagaimana dengan sapi FH yang berada di Indonesia ?. Sapi perah FH masuk
ke Indonesia dibawa oleh Hindia Belanda pada tahun 1891-1893 dengan
tujuan untuk meningkatkan kualitas sapi perah lokal. Sapi perah FH murni
telah ada di Jawa Barat sejak tahun 1900, tepatnya di daerah Cisarua
dan Lembang. Dari kedua daerah inilah sapi perah FH kemudian menyebar ke
beberapa daerah di Jawa Barat (Makin dkk., 1980).
Sayangnya, produksi susu yang dihasilkan oleh sapi perah FH di Indonesia
ternyata lebih rendah, berkisar antara 3000-4000 liter per laktasi.
Produksi rata-rata sapi perah di Indonesia hanya mencapai 10,7 liter per
ekor per hari (3.264 liter per laktasi) (Chalid, 2006).
Susu, adalah hasil akhir dari rangkaian proses fisiologis yang kompleks
dan berulang sehingga terjadi banyak macam interaksi yang berperan dalam
menentukan produksi susu. Interaksi yang mempengaruhi produksi susu di
antaranya hereditas dan lingkungan.
Faktor lingkungan memegang peranan penting terhadap proses fisiologis
dalam tubuh ternak sehingga pada gilirannya akan mempengaruhi kapasitas
produksi susu (Sudono, 1990). Menurut penelitian Williamson dan Payne,
1993, pada daerah tropis produksi yang dihasilkan bergantung pada :
1. Teknis pemeliharaan.
2. Kualitas pakan.
3. Ketinggian tempat sapi tersebut dipelihara (iklim).
Teknis pemeliharaan : menjadi penting karena pada sapi FH kapasitas
produksi akan selalu mengalami peningkatan dari laktasi pertama ke
laktasi selanjutnya, dan meningkat terus sampai umur 6–8 tahun. Setelah
periode ini, produksinya akan menurun secara perlahan sampai usia tua.
Pada sapi perah FH, umumnya puncak produksi susu dicapai pada laktasi
keempat, yaitu pada saat sapi berumur 6–7 tahun (Larkin dan Barret,
1994). Di daerah tropis, puncak produksi susu dicapai pada laktasi
ketiga atau keempat. Rincian kapasitas produksi pada laktasi pertama,
kedua, ketiga, dan keempat secara berurutan adalah 70, 80, 90, dan 95%
dari puncak laktasi umur dewasa. Hal tersebut dapat dicapai dengan cara
mengatur selang waktu beranak rata-rata 12 bulan serta sapi beranak
untuk pertama kalinya pada umur 2 tahun.
Kualitas pakan : berpengaruh paling besar pada produksi susu (Diwyanto
dkk., 2007). Jumlah pemberian pakan hijauan dan konsentrat dapat
mempengaruhi jumlah produksi susu dan kadar lemak. Kualitas dan
kuantitas pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan atau
memenuhi hidup pokok, produksi susu, pertumbuhan, dan kebuntingan
sehingga akan dicapai produksi susu yang optimal.
Faktor iklim : apabila lingkungan fisik dan iklim suatu daerah sesuai
dengan habitat asalnya dan sapi diberi pakan berkualitas , maka sapi
tersebut akan menampilkan semua sifat yang dimiliki secara maksimal.
Suhu lingkungan yang tinggi akan menurunkan nafsu makan dan mengurangi
konsumsi pakan seekor sapi perah sehingga menghambat produksi susu sapi
tersebut (Sutardi, 1981).
Hasil penelitian menyatakan sapi perah yang berasal dari daerah iklim
sedang berproduksi maksimal pada suhu lingkungan antara 1,1-15,5ºC tapi
masih dapat berproduksi dengan baik pada kisaran 5-21ºC (Brody, 1945;
Hafez, 1968). Apabila suhu melebihi 21ºC, sapi perah asal daerah sedang
akan mengalami kesulitan adaptasi dan akan menunjukkan gejala penurunan
produksi susu. Jika sapi tersebut diternakkan di daerah tropis dengan
suhu lingkungan rata-rata di atas 23ºC, maka produksi susu yang dicapai
tidak sebanyak produksi susu di daerah asalnya (Williamson dan Payne,
1978).
Faktor iklim ini masih dapat diatasi dan tidak banyak berpengaruh
apabila sapi perah tersebut diberi pakan yang berkualitas tinggi
sehingga dapat berproduksi sesuai dengan kemampuannya (Sudono, 1985).